Ads

JournalTelegraf
Senin, 08 Maret 2021, Maret 08, 2021 WIB
Last Updated 2021-03-08T14:54:26Z
Bank SulutGodeposito Bank SulutGoMANADOSulawesi Utara

Jelang RUPS-LB Bank SulutGo : Chairul Tanjung, Jiwasraya dan Window Dressing


JOURNALTELEGRAF - Masih hangat di benak publik tanah air bagaimana permainan dalam laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk terkuak. Hingga heboh dan menjadi kisruh berkepanjangan.


Ketika itu, 24 April 2018, perusahaan penerbangan pelat merah ini sedang menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) di hotel Pullman.

Sebenarnya sesuatu yang lumrah dilakukan setiap perusahaan berbadan hukum, apalagi yang sebagian sahamnya sudah menjadi milik publik.

Namun kenapa hal lumrah ini tiga hari kemudian, 27 April 2019, jadi heboh dan kemudian jadi perbincangan publik tanah air?

Malah, terjadi pencopotan sejumlah pimpinan di perusahaan yang di bursa berkode GIAA ini yang ikut di kait-kaitkan sebagai buntut pelaksanaan RUPST itu.

Ternyata, hal ini dipicu sikap dua orang komisaris GIAA, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.

Dalam RUPST itu mereka menolak menandatangani laporan buku tahunan Garuda 2018.

Keduanya adalah komisaris yang mewakili pemegang 28,08 % saham GIAA, yakni dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd.

Dua perusahaan itu milik pengusaha Chairul Tanjung, kakak dari Chairal Tanjung.

Keduanya menolak karena berdasarkan laporan keuangan GIAA 2018, perusahaan mencatatkan laba bersih US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar dengan kurs Rp 14.000.


Padahal, pada kuartal III tahun itu, GIAA masih merugi US$ 114,08 juta atau setara Rp 1,66 triliun.

Manajemen beralasan, laba itu diperoleh dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, di mana dari jumlah tersebut, US$ 28.000.000 merupakan bagian bagi hasil dari PT Sriwijaya Air.

Padahal, uang ini masih berbentuk piutang, tapi oleh perusahaan sudah dimasukkan dalam pendapatan.

Kalangan Pengamat mengapresiasi langkah yang diambil dua komisaris itu.

Menurut mereka, sebagai pengawas, sudah seharusnya komisaris menolak piutang jangka panjang itu dimasukkan sebagai pendapatan.

GIAA memasukkan kerjasama yang diteken pada Oktober 2018 ini yang seharusnya menjadi pendapatan 15 tahun ke depan, menjadi pendapatan 2018. Nilainya tak tanggung-tanggung, sekitar Rp 3,47 triliun.

GIAA yang pada triwulan ketiga 2018 masih tekor Rp 1,64 triliun, mendadak untung hampir Rp 72,6 miliar pada akhir 2018.

Dalam suratnya yang sempat dikutip CNBC, Chairal Tanjung menyatakan, pengakuan pendapatan dari kontrak Mahata itu bertentangan dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PASK) No. 23 tentang Pendapatan, khususnya paragraph 28 dan 29.

Oleh pengamat, tindakan GIAA memoles laporan keuangan ini bisa disebut sebagai praktik window dressing, yakni praktik rekayasa dengan menggunakan trik-trik akuntansi untuk membuat neraca perusahaan atau laporan rugi-laba terlihat lebih baik dari keadaan sebenarnya, untuk membuat para pemegang saham dan pemangku kepentingan lain terkesan.

Caranya dengan menetapkan aktiva atau pendapatan terlalu tinggi dan menetapkan kewajiban atau beban terlalu rendah dalam laporan keuangan.

Mantan Komisaris Bank SulutGo, Effendy Manoppo, mencurigai ada praktik window dressing dalam laporan keuangaan BSG tahun buku 2020 yang akan dipertanggungjawabkan dalam RUPS 18 Maret mendatang.

“Dari data dan informasi yang saya dapatkan, ada banyak ketidaksesuaian yang wajib dicermati para pemegang saham. Jangan terpesona, teliti biar tidak terpedaya,” ujarnya belum lama ini.

Menurutnya, ada komponen yang seharusnya jadi biaya, namun tidak dianggarkan dan dibiayakan karena hanya karena pengurus bank ingin mendongkrak catatan perolehan laba.

Effendy yang mengaku pernah memimpin Divisi Kepatuhan dan Divisi Manajemen Risiko di BSG ini kemudian mengutip Penjelasan Pasal 71 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 2007 sebagai salah satu dasar atas kecurigaannya itu.

“Ini bahaya,” tambahnya.

Karena itu, jika di GIAA Chairul Tanjung melalui dua komisarisnya di PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd bisa mengambil langkah tegas praktik window dressing, langkah inipun mungkin dapat diambil dalam RUPS BSG.

Dia percaya pengusaha nasional yang dikenal dengan sapaan akrab CT itu, melalui PT Mega Corpora yang menjadi pemegang saham kedua terbesar di BSG tidak akan membiarkan bank kebanggaan masyarakat Sulut dan Gorontalo ini dilemahkan.

Tak hanya Garuda Indonesia. Perusahaan asuransi pelat merah, Jiwasraya, pun beberapa kali melakukan window dressing pada laporan keuangannya. Mau tahu?

Dikutip dari beberapa sumber, ketika krisis moneter 1998, Jiwasraya mengalami kerugian besar karena salah masuk ke investasi deposito rupiah dengan mencairkan rekening valasnya.

Akibat kurs terjun bebas terjadi penyusutan asset sangat besar. Itulah awal bencana. Namun saat itu pemerintah tidak segera menyelesaikannya.

Keadaan dibiarkan gantung dengan laporan keuangan yang nampak bagus. Tahun 2006, ekuitas Jiwasraya sudah negatif Rp 3,29 Triliun.

Lagi lagi ini tidak diselesaikan oleh Pemerintah SBY. Malah kantor Akuntan Publik Soejatna, Mulyana dan Rekan memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Tahun 2007, sama. Akuntan Publik membuat laporan WTP. Tetapi dibantah oleh BPK. Pemerintah tetap saja membiarkan.

Nah tahun 2008 defisit semakin besar, yaitu Rp 5,7 Triliun. Tetapi lagi lagi Akuntan Publik yang audit memberikan status WTP.

Pada tahun 2008 ini, dipilih Direktur Utama Hendrisman Rahim yang menggantikan Herris Simanjuntak.

Hendrisman dibantu oleh Indra Catarya Situmeang sebagai Direktur Pertanggungan, De Yong Adrian sebagai Direktur Pemasaran, dan Hary Prasetyo sebagai Direktur Keuangan.

Justru di tahun ini Jiwasraya menyiapkan Bom Waktu yang maha dahsyat. Yaitu menciptakan produk Saving Plan.

Tapi belum dilakukan. Masih dipersiapkan. Mereka perlu waktu membuat neraca Jiwasraya semakin bersinar agar cantik mengundang syahwat orang untuk membeli Saving Plan Product.

Tahun 2009, defisit semakin membesar yaitu Rp 6,9 t Triliun. Aset lebih kecil ketimbang kewajiban. Direksi terpaksa mengajukan tambahan modal kepada pemerintah. Tetapi ditolak oleh Pemerintah.

Solusinya?

Direksi melakukan Reinsurance kepada perusahaan asuransi di Amerika.

Hasilnya, posisi neraca jadi sehat. Kewajiban klaim asuransi Jiwasraya dari seharusnya Rp 10,7 Triliun menjadi Rp 4,7 Triliun.

Karena itu tahun 2010, Jiwasraya mencatatkan laba Rp 800 Miliar. Dapat status WTP.

Langkah Reinsurance dilanjutkan lagi di tahun 2010-2012. Dampaknya ekuitas surplus Rp 1,75 Triliun.

Lagi lagi dapat status laporan keuangannya WTP. Untuk lebih keren lagi, program revaluasi asset dilakukan. Hasilnya makin kinclong aja. Aset dari Rp 208 Miliar menjadi Rp 6,3 Triliun.

Nah, ketika neraca semakin kinclong, saat itulah aksi srigala yang sudah dipersiapkan sejak tahun 2008 dilakukan.

Tahun 2013, Jiwasraya meluncurkan produk Bancassurance JS Saving Plan yang bekerja sama dengan tujuh bank.

Asuransi sekaligus investasi yang menyasar kelas menengah atas ini memiliki premi dibayarkan sekaligus Rp 100 juta.

Produk ini ditawarkan dengan imbal hasil pasti sebesar 9% hingga 13%, dengan periode pencairan setiap tahun.

Sudah bisa ditebak. Uang nasabah pun masuk bak air bah. Karena program investasi yang menguntungkan.

Pada 2014 hingga 2016, Perseroan melaporkan ekuitas surplus berturut-turut Rp 2,4 triliun, Rp 3,4 triliun dan Rp 5,4 triliun. Pada 2014, pertumbuhan laba perseroan sebesar 44% menjadi Rp 661 miliar. Keren kan.

Apalagi laporan keuangan statusnya WTP. Tapi berbeda dengan hasil audit BPK.

Menurut laporan BPK, manajemen Jiwasraya diduga membuat laporan aset investasi keuangan yang overstated (melebihi realita) dan kewajiban yang understated (di bawah nilai sebenarnya).

Tapi lagi lagi pemerintah, saat itu Jokowi sebagai Presiden, tidak curiga dan tidak meminta KPK melakukan pemeriksaan atas adanya temuan BPK. DPR pun bungkam seribu bahasa.

Tahun 2018, RUPS mengganti Direksi. Direksi yang lama dianggap sukses menjalankan Jiwasraya.

Bahkan Hary Prasetyo yang jadi Direktur Keuangan Jiwasraya sejak tahun 2008, dianggap sangat hebat.

Makanya dia ditunjuk sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden.

Direksi yang baru, Asmawi melaporkan ketidakberesan keuangan pada Mei 2018 kepada Kementerian BUMN. Asmawi mencurigai ada yang tidak beres dengan laporan keuangan Jiwasraya.

Menteri diam saja. Pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya mengumumkan tidak mampu membayar (Default) klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar.

Tahun 2019, bulan November, Direksi Jiwasraya melapor ke DPR.

Dengan wajah penuh khawatir, Direksi memohon agar wakil rakyat memberikan suntikan dana sebesar Rp 32,8 triliun.

Mengapa? Defisit mencapai dua kali dari asset!

Hebatnya DPR mendesak pemerintah untuk menyelesaikan Jiwasraya, dengan fokus kepada penyelamatan uang investor.

Apa yang terjadi pada Jiwasraya tak ubahnya dengan kejatuhan American International Group (AIG), yang sebelumnya pesta pora karena modus Window Dressing dan merasa hero.

Ketika Window Dressing mentok, karena kehabisan stok bohong, mereka datang ke rakyat agar memberikan suntikan modal, tentu dengan alasan demi rakyat. Rakyat mana??

Apapun solusi, tanpa membubarkan Jiwasraya, maka itu hanya melanjutkan modus Window Dressing.

Namun dengan efek ledakan lebih besar di masa yang akan datang. Kita pahami bahwa masalah Jiwasraya ini sangat sophisticated.

Tidak mudah dipahami kecuali oleh pemain Hedge Fund.

Apa itu Window Dressing?

Window dressing itu istilah yang hidup di lingkungan Fund Manager dan pemain Hedge Fund.

Window Dressing adalah Seni memoles neraca agar nampak berkinerja baik, sebelum dilaporkan kepada pemegang saham.

Caranya macam macam. Bisa melalui rekayasa harga saham di bursa sampai bayar akuntan publik. Bisa juga merekayasa transaksi fiktif yang diakui oleh Akuntan Publik seperti yang dilakukan Garuda Indonesia untuk neraca tahun 2018.

Sebetulnya, Window Dressing ini masuk kategori Fraud atau penipuan.

Untuk Bank SulutGo sendiri, kita tidak mau Gubernur yang kita pilih terjebak dalam skema Financial Engineering yang scam.

Jika di GIAA, adik CT menjadi motor utama, Effendy berharap, Max Kembuan, sebagai salah satu bankir handal tanah air, yang dipercayakan sebagai komisaris di bank ini akan dapat berbuat banyak bagi kemajuan bank ini.

Mari kita tunggu bagimana solusi dari Kejaksaan dan bahkan KPK melihat Bank SulutGo.

Reporter/Editor : Simon Ronal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar