Ads

Rabu, 09 September 2020, September 09, 2020 WIB
Last Updated 2020-09-09T06:14:38Z

Sertifikasi Penceramah Menuai Polemik Diberbagai Kalangan

Foto; (istimewa) Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW)


JOURNALTELEGRAF-Sejak awal tahun 2020, Menteri Agama Fachrul Razi mulai menjalankan program sertifikasi penceramah bagi semua agama.


Menurut Fachrul Razi, program tersebut bertujuan untuk mencetak penceramah agar memiliki bekal wawasan kebangsaan, menjunjung tinggi ideologi Pancasila, dan juga mencegah penyebaran paham radikalisme di tempat-tempat ibadah.


Namun sayangnya, program tersebut menuai kritidari sejumlah pihak. Hingga menimbulkan keresahan di tengah publik bahwa penceramah yang tidak bersertifikat akan dilarang.


Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Kementerian Agama menyudahi kontroversi seputar sertifikasi penceramah yang tidak produktif. Menurutnya, munculnya program tersebut sangat tidak tepat, terlebih dilakukan di tengah keprihatinan bangsa yang sedang tertimpa musibah COVID-19. Selain itu ia menganggap hal itu bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi agar semua pihak fokus dan sibuk mengurusi COVID-19.


Rencana sertifikasi tersebut juga dinilai telah menimbulkan keresahan, polemik, dan memicu penolakan masyarakat luas. Sebut saja Muhammadiyah, MUI (Sekum) yang sudah menolak program ini, bahkan tokoh nonmuslim seperti Christ Wamena juga ikut menolak.


"Sekalipun saya setuju untuk terus mengarusutamakan ceramah dan laku Agama yang moderat/wasathiyah, tidak radikal/tathorruf, dan menghadirkan rahmatan lil alamin, mestinya Menag dan Kemenag memberikan keteladanan lebih dulu, bukan dengan mewacanakan sertifikasi," ungkap HNW dalam keterangannya, Selasa (8/9/2020).


"Apalagi program yang kontroversial itu juga menghadirkan keresahan sosial di kalangan umat, dan tidak membantu menghadirkan penguatan imunitas untuk atasi COVID-19," tambahnya.


Hidayat mengkritik dan mengingatkan, program sertifikasi penceramah tidak pernah muncul dalam program kerja maupun prioritas rencana kerja Kementerian Agama beserta anggarannya yang disampaikan Kemenag ke DPR. Program ini juga belum pernah dibahas dan disetujui oleh komisi VIII DPR-RI.


HNW lantas mempertanyakan Kemenag yang bersemangat menggulirkan wacana ini dan membuatnya seolah-olah program yang sangat prioritas, tetapi tak pernah mengajukannya sebagai program apalagi program kerja prioritas. Padahal, menurut dia, sejak dari awal raker Menag dengan komisi VIII DPR selalu menolak wacana 'radikalisme yang tak ada definisi dan ukurannya'.


Ia melanjutkan, sejak itu Kemenag tidak pernah menyampaikan program prioritas maupun nonprioritas terkait sertifikasi penceramah dikaitkan dengan isu radikalisme, untuk dibahas dan disetujui oleh komisi VIII DPR-RI.


"Lantas, bagaimana program ini bisa muncul dan dilaksanakan? Bagaimana legalitasnya? Siapa yang membiayainya? Untuk kepentingan apa dan siapa?," ujar Hidayat.


Lebih lanjut, HNW mengatakan jika memang tujuan sertifikasi untuk penyuluhan dan pembekalan, selama ini Kemenag sudah bekerja sama dengan MUI dan telah memiliki program pembekalan penyuluh. Sertifikasi penceramah yang demikian banyak apalagi melibatkan berbagai lembaga negara (BNPT, BPIP dll) juga bukan hal yang mudah dan murah.


"Misalnya Kemenag dalam melakukan sertifikasi dosen dan guru saja masih memiliki banyak kendala dan masalah, apalagi dengan terbatasnya anggaran negara akibat merosotnya penerimaan pajak, dan kebijakan umum untuk realokasi anggaran agar difokuskan pada penanganan COVID-19,"Tutup HNW.


Reporter : Legitha Aswardy

Editor: Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar