Ads

Senin, 17 Februari 2020, Februari 17, 2020 WIB
Last Updated 2020-02-17T10:59:56Z
Opini

CATATAN KECIL: Soekarno Dalam Pandangannya Terhadap Anti-Kolonialisme, Anti-Imperialisme dan Elitisme

JOURNALTELEGRAF - Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme," kata Bung Karno, "telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad." Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. "Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?" pekik Soekarno di depan para pendengarnya.

Foto: (istimewa)Fiky Gumeleng

Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya, terutama pada periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme dan anti-imperialisme Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah merupakan kelanjutan dari pemikiran-pemikiran dia waktu muda.

Tulisan ini dimaksudkan untuk secara singkat melihat pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme, dan selanjutnya elitisme-serta bagaimana relevansinya untuk sekarang. (lihat Dok. Kompas di tahun 1956 sebelum di brendel orba atau orde baru di tahun 1960).

Anti-kolonialisme dan anti-imperialisme

Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal yang berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap antikolonialisme tersebut tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama "untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka." Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi.

Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi, Soekarno percaya, kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi gerak orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l'homme par l'homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain. Bagi sukarno itu harus di lawan, walaupun sampai hari ini sistem ekonomi tetap menjadi pemeran utama dari pergulatan persoalan dunia. Kita tahu bersama juga bahwa ekonomi amerika dan china begitu maju dan membuat negara berkembang sulit mendapatkan haknya sebagai negara berkembang.
Kemudian Soekarno muda menentang kolonialisme dan kapitalisme itu. Keduanya melahirkan struktur masyarakat yang eksploitatif, bukan sistematis, dan pikiran soekarno pada saat itu di dominasi teoritiknya marx. Tiada pilihan lain baginya selain berjuang untuk secara politis menentang keduanya, bahkan jika hal itu menggelisahkan, profesornya Pada suatu pagi di awal tahun 1923, sebagai seorang mahasiswa Soekarno dipanggil untuk menghadap Rektor Technische Hoge School waktu itu (THS), sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Profesor Klopper. Kepada mahasiswanya, sang profesor mengatakan, "Kamu harus berjanji bahwa sejak sekarang kamu tak akan lagi ikut-ikutan dengan gerakan politik." tapi bagi soekarno itu hal yang sulit dengan bayang-bayang politik kolonialisme sehingga soekarno harus lebih melakukan gerakan politis sembari melaraskan ide dan arah perjuangannya. ( baca : “Soekarno muda” buku dari Prof. pieter kasenda M.Si tahun 1989).

Anti-elitisme

Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno muda ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka.

Soekarno muda melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur bahasa Jawa yang dengan pola "kromo" dan "ngoko"-nya mendukung adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya atas stratifikasi demikian itu, dalam rapat tahunan Jong Java di Surabaya pada bulan Februari 1921, Soekarno berpidato dalam bahasa Jawa ngoko, dengan akibat bahwa ia menimbulkan keributan dan ditegur oleh ketua panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih besar dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Bertolak dari pertemuan pribadinya dengan petani Marhaen, Soekarno merasa terpanggil untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia, serta kepada peranan mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme yang kapitalistik itu. Kaum Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar dalam gagasan Karl Marx, diharapkan akan menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat baru yang lebih adil.

Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaenisme "menolak tiap tindak borjuisme" yah, bagi Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan "padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx," dalam arti bahwa mereka ini merupakan "kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia."

Konteks

Apa yang dikatakan soekarno adalah jawaban dari sebuah khayalannya yang hari ini kita rasakan bersama, tidak dapat dipungkiri bahwa yang dia katakan adalah benar, dan menjadi panah untuk bangsa dan negara indonesia membunuh secara perlahan-lahan, di lain pihak sikap kolonial dan imperial itu dibudayakan oleh masyarakat indonesia, contoh kecilnya hari ini kita bisa lihat bersama hak-hak politik dan sosial warga negara di batasi dengan bahwasanya yang punya uang lebih berdominasi ketimbang pribumi (masyarakat asli indonesia).
Baik dari segi pendidikan, sosial, politik, budaya dan lain sebagainya konsep kolonialisme, imperialisme, bahkan elitisme masuk karena sedari awal sukarno menegaskan ketika hal ini tidak diberangus akan menjadi virus berbahaya. dan paling berbahaya masih kalah virus corona di huwan china, yah bagi penulis lebih berbahaya karena kenapa sampai detik ini belum ada yang bisa memberi penawaran terhadap hal tersebut. Dan hal memang nyata, contoh dari segi politik kolonialisme dan imperialisme itu masuk via partai politik, padahal hak politik bukan nanti berkolonial lalu bisa berpolitik rakyat dijadikan pion untuk saling di pertentangkan dengan situasi politik di indonesia lebih spesifiknya istilah cebong dan kampret menjadi pion politik kolonialisme dan prinsip imperialisme merusak sistem kenegaraan. Mengutip apa yang dikatakan oleh GIE pada saat menerima mata pelajaran di bangku SMA di salah satu sekolah di jakarta bahwa “demokrasi tidak akan hidup ketika ruang demokrasi saja masih dimiliki oleh sekelompok” masih banyak contoh yang kita boleh ambil, namun penulis akan meberi solusi betapa pentingnya melawan dan tidak tertidur pada realitas hari ini.

Solusi

Bagi penulis hal-hal yang dapat kita lakukan adalah sadar bahwa semua kebebasan itu ada, dan tidak membatasi hak-hak orang lain. Kemudian lebih membuka khazanah berpikir dengan membaca sejarah dan tidak terkontaminasi pada hal-hal yang di atas penulis jelaskan, dan kemudian spirit perjuangan yang selalu digaungkan oleh sukarno seharusnya di terbitkan, sistem kolonial hanya berlaku secara garis sejarahnya, praktiknya memang ada sampai hari ini namun yang menjadi urgennya adalah tidak melakukan pada masa lampau, dan masa kini  tetapi lebih memberdayakan pikiran-pikiran yang inklusif yang bagi penulis itu penting dibanding berbuat oligarki sana sini.
Sesi politik imperial yang tertanam tidak harus diberlakukan karena negara indonesia punya aturan atau konstitusi yang harus dilaksanakan bersama, sehingga gap (batasan) tidak terjadi semisalnya politik hari ini tidak harus mendogma satu sama lain karena negara demokrasi maka harus berpolitik secara demokrasi tidak membatasi politik orang lain.

Penulis : Fiky Gumeleng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar