Ads

Senin, 12 Oktober 2020, Oktober 12, 2020 WIB
Last Updated 2020-10-12T06:43:19Z
kota bitung

"Kepung" Kantor DPRD, Ini 8 Tuntutan Aliansi Bitung Memanggil

JOURNALTELEGRAF - Ketika orang kaya merampok orang miskin itu disebut bisnis, tetapi ketika orang miskin melawan itu disebut kekerasan -Mark Twain.


Foto : Moh Nabil Baso, Jenderal Lapangan Aliansi Bitung Bersatu


RUU Omnibus law yang bermasalah dan ditolak dari semenjak pengusulannya tiba-tiba disahkan. Senin 05 Oktober 2020, di tengah pandemic Covid-19 secara diam-diam DPR RI mengesahkan RUU yang merugikan rakyat dan demi memuluskan jalannya investasi di Indonesia. Hal ini sudah diduga sebelumnya disebabkan dalam periode pemerintahan Joko 
Widodo, terjadi pembangunan besar-besaran terhadap infrastruktur transportasi, akomodasi, dan 
kawasan ekonomi khusus melalui Komite Penyediaan Percepatan Infrastruktur Pembangunan (KPPIP) untuk memuluskan jalannya investasi di Indonesia.
RUU omnibus law semenjak awal tak pernah bisa diakses publik. Bahkan dalam 
perkembangannya kemudian, setelah melewati paripurna masih banyak terdapat salah kepenulisan. Mengingat begitu tergesa-gesanya RUU ini disahkan secara diam-diam di tengah  kondisi bangsa yang sedang mengalami pandemi, maka tak heran jika digelar berbagai demonstrasi untuk menolak UU tersebut. UU yang disebut sebagai UU Sapu jagat ini dari awal memang dicurigai hanya menguntungkan 
pemilik modal, mengebiri hak-hak buruh, mengeksploitasi alam, berpotensi merusak lingkungan. 

Hal ini dibuktikan dengan berbagai pasal yang bermasalah pada UU bertentangan dengan UU sebelumnya. Misalnya saja dalam pasal 88C tentang penghapusan Upah Minimum Kab/Kota sebagai dasar upah minimum pekerja. Hal ini bisa menyebabkan upah akan dipukul rata semua kabupaten/kota tanpa melihat perbedaan biaya hidup di dalamnya.
Tentu saja, Kota Bitung sebagai kota Industri terbesar di Sulawesi Utara dengan kurang lebih 154 perusahaan dan 12.000-an lebih buruh, akan merasakan dampak yang sangat besar dengan 
diterbitkannya UU ini. Apalagi jika Kawasan Ekonomi Khusus berjalan dengan stabil maka bisa dipastikan dengan UU ini akan membuat nasib buruh semakin sengsara. Perusahaan begitu mudahnya dibuka, namun begitu mudah pula nasib-nasib buruh terabaikan.

Demonstrasi pun digelar di berbagai kota. Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Makassar, dan Manado, pada akhirnya hanya memperlihatkan bagaimana represifitas aparat diberbagai kota 
terhadap para aktifis dan demonstran. Apa yang terjadi di Tondano terhadap 17 Mahasiswa UNIMA menjadi hal yang sangat dikecam. Bagaimana aparat masuk kedalam kampus dan 
memukuli mahasiswa. Belum lagi dengan berbagai penangkapan dan intimidasi di saat demonstrasi terjadi. Hal ini tentu saja bisa melanggar kebebasan dalam berpendapat yang dilindungi oleh undang-undang. semua hal itu terjadi karena akumulasi dari DPR yang 
mengatasnamakan Rakyat namun mengebiri hak-hak rakyat. Menggunakan legitimasi untuk bermufakat jahat. 

Maka hari ini, Senin 11 Oktober 2020 Aliansi Bitung Memanggil yang terdiri 
dari berbagai elemen, organisasi dan masyarakat di Kota Bitung menggelar aksi menolak omnibus law cipta lapangan kerja dengan tuntutan:
1. Memberikan Mossi Tidak Percaya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
2. Menolak Omnibus law sampai ke akar-akarnya
3. Meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Perppu membatalkan UU 
Cilaka
4. Hentikan segala bentuk represifitas aparat kepada para mahasiswa, aktifis dan para 
demonstran 
5. Mendesak kepada DPR RI untuk mensahkan RUU Masyarakat Adat
6. Geser pembangunan jalan tol dari mata air di aer ujang
7. Mendesak pemerintah Kota Bitung untuk memperhatikan nasib buruh
8. Mengecam segala bentuk intimidasi, pembungkaman dan represifitas terhadap 
Mahasiswa di kampus-kampus Kota Bitung.

Tertanda
Aliansi Bitung Memanggil

Reporter/Editor : Alfonds  Wodi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar