Ads

Selasa, 08 September 2020, September 08, 2020 WIB
Last Updated 2020-09-08T13:40:01Z
Headline newsJakartaNASIONAL

Pancasila Mengalami Titik Kritis


JOURNALTELEGRAF- Pancasila mengalami titik kritis ketika anak bangsa tak mampu melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan.  Demikian yang di ungkapkan oleh Ketua Pusat Studi Pengamalan Pancasila (LPPM) Universitas Sebelas Maret dalam Webinar yang bertajuk “Anak Muda dan Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan, Selasa (8/9/2020).


“Itulah yang membuat kita melihat rada sempit bagaimana melihat pilar Bhinneka Tunggal Ika itu, ketika kita tak bisa bersama, ketika tidak bisa membuka ruang perbedaan," ujar Prof. Hermanu.


"Ketika kita tak bisa membuka ruang toleransi terhadap perbedaan itu. Inilah yang sangat menyedihkan bagi saya pribadi," tambahnya.


Selain itu dalam Webinar via Google Meet ini Romo Benny Susetyo yang juga anggota BPIP juga menambhakan, kelompok Cipayung sudah memiliki keyakinan bahwa selain mereka memiliki identitas, juga telah memiliki keyakinan untuk menghargai seluruh keragaman yang ada. 


Ia menuturkan, keberadaan fenomena toleransi belakangan-belakangan ini adalah berasal dari pemahaman yang tidak utuh terhadap agama. Maka interaksi itu harus pula diarahkan ke arah saling memahami tadi yang terus menerus. 


"Di Indonesia sudah sangat harmonis sejak dahulu kala dalam bergandengan,” pungkas Romo Benny Susetyo.


Daring acara webinar Refleksi 75 tahun kemerdekaan



Bahkan menurut dia, akhir-akhir ini muncul kembali isu intoleransi karena muncul berbagai kebohongan di media sosial, distrust sehingga orang-orang saling curiga. Dan melupakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat.


“Kita berharap dari kelompok forum ini juga dapat tercipta kelompok yang meskipun berbeda keyakinan, tetapi satu tujuan dan cita-cita, yaitu menciptakan Indonesia yang damai sehingga kita dapat keluar dari krisis ini agar tidak mengalami kehancuran,” paparnya.


Sementara itu, Sosiologi FISIP USM, Akhmad Ramdhon menjelaskan, bahwa refleksi 75 tahun kemerdekaan bukanlah refleksi mundur tapi adalah komitmen merawat perbedaan juga komitmen merawat keragaman dalam agenda-agenda kebangsaan.


Sehingga mendukung komitmen kerja-kerja bersama, untuk memastikan mendorong kembali kebebasan akademik di kampus melibatkan kembali organ ekstra dalam dinamika-dinamika di kampus,” tegas Akhmad Ramdhon yang juga sebagai moderator pada webinar. 


Ditempat yang sama, Ketua HMI Cabang Surakarta Romadhon mengatakan bahwa refleksi Pancasila adalah menjamin iklim diskusi di kampus, jangan sampai kebebasan akademik dilarang. 


Menurut Romadhon, Aspek lain yang harus dikawal, bukan hanya soal keberagaman, bukan hanya soal masalah intoleransi tapi juga soal nilai-nilai Pancasila yang harus kita respon, dan masalah kebebasan berpendapat, masalah keadilan, fenomena kesenjangan sosial. 


“Padahal Indeks Pembangunan Manusia di Solo merupakan nomor 3, tapi kita masih melihat ada banyak kemiskinan di Solo,” jelas Romadhon. 


Selain itu, Ketua GMNI Surakarta Ruwanda Saputra juga menyampaikan isu toleransi yang menjadi isu yang sangat santer dibicarakan, hal tersebut berkaitan dengan demokrasi-demokrasi yang diselenggarakan negara. 


“Politik identitas dijadikan tolak ukur kemenangan. Itu satu kesalahan. Padahal kita sebagai bangsa sudah memiliki konsesus bersama yaitu Pancasila,” pungkas Ruwanda.


Bahkan Ketua PMII Surakarta Putri Lestari menegaskan, perbedaan tidak menjadikan kita harus terpecahbelah apalagi hanya untuk momentum politik 5 tahunan. PMII mengutuk keras sikap intoleransi. 


“Kami dari PMII menyikapi isu intoleransi hari ini terjadi khususnya di Surakarta, mengutuk keras sikap tertentu. Karena dalam kehidupan sehari-hari kita harus saling menghargai kepercayaan dan keyakinan bersama satu sama lain. Juga ketika terjadi berpedaan pendapat,” tukas Putri.






Reporter : Amir Wata

Editor : Ewin






Tidak ada komentar:

Posting Komentar