Ads

Selasa, 15 September 2020, September 15, 2020 WIB
Last Updated 2020-09-15T11:59:07Z
Calon Walikota BitungDPC PDI Perjuanga Kota Bitungkota bitungMaurits Mantiri

Mengaji (Kenangan) Bersama "Om Kumis"

Maurit Mantiri dengan sapaan akrab Om Kumis

Om Kumis adalah sapaan akrab dari Maurits Mantiri, Ketua P-DIP Kota Bitung yang kini berada di akhir masa jabatan sebagai Wakil Walikota Bitung. Julukan Om Kumis mungkin didapatkan Maurits karena kumisnya yang tebal. 


Dalam kesehariannya, Om Kumis merupakan sosok egaliter yang pada saat menjabat sebagai Wakil Walikota tidak sedikitpun menciptakan sekat – sekat sosial antara dirinya dan masyarakat biasa. Om Kumis bermain kartu (bukan berjudi) dengan masyarakat biasa yang datang dikediamannya, bahkan sering kali Om Kumis dibuat  berdiri (mendapatkan hukuman) oleh masyarakat biasa, karena kalah bermain kartu. Selain itu, Om Kumis tidak pernah alergi untuk duduk, diskusi bersama dengan aktivis Kota Bitung di Warkop (Warung Kopi). Aktivitas semacam ini merupakan kebiasaan Om Kumis yang dilakukan sejak lama, bahkan jauh sebelum Beliau menjabat sebagai Wakil Walikota.


Mengaji Bersama Om Kumis


Suatu ketika kami melaksanakan pengajian yang bertepatan dengan milad (hari lahir) Ayahanda kami (14 Sepetember 2019), yang juga merupakan orang tua kandung dari pemimpin tertinggi (tingkat daerah) Organisasi kami. Om Kumis hadir bukan hanya sebagai sosok Wakil Walikota, akan tetapi sebagai anak dari teman Ayahanda kami. Orang Tua Om Kumis merupakan teman seperjuangan dari Ayahanda kami dalam memajukan pendidikan di Kota Bitung.


Om Kumis diberikan kesempatan menyampaikan satu, dua, tiga buah kalimat pada pengajian tersebut. Terus terang, pada saat itu saya bertanya dalam hati saya, “bagaimana caranya seseorang beragama Kristen menyampaikan pidato pada acara pengajian tanpa ada teks tertulis ditangannya”, sesekali saya berfikir bahwa beliau akan berlagak seperti seorang yang paham Islam, dan mengutip ayat – ayat Al-Qur’an seperti pejabat pada umumnya.


Sosok Nasionalis – Religius (Kristen)


Apa yang menjadi dugaan saya tidak terjadi sama sekali. Om Kumis tidak sedikitpun berusaha menjadi Islami untuk menarik simpati kami yang beragama Islam. Beliau menyampaikan sesuatu yang menarik tentang perjalanan beliau ke jalur Gaza yang menjadi perbatasan Israel dan Palestina.


Beliau menggambarkan betapa teduh dan damai suasana perbatasan jalur Gaza, aktivitas dagang terjadi di sana, paling penting lagi tidak ada peperangan. Anehnya pada saat beliau melakukan kunjungan tersebut salah satu media TV Internasional menginformasikan adanya terjadi peperangan di jalur Gaza. Om Kumis menyimpulkan bahwa hal tersebut hanyalah propaganda media, dan menyampaikan kepada kami untuk tidak terprovokasi dengan hal semacam itu.


Om Kumis menutup penyampaiannya dengan kalimat, “Torang orang Bitung musti baku sayang, torang orang Bitung musti junjung tinggi torang pe semboyan sitou timou tumou tou, torang orang Bitung samua bersaudara”.


Saya menilai apa yang dilakukan Om Kumis ini sebagai upaya dari seorang pejabat pemerintahan untuk mereduksi perpecahan antar umat beragama yang diakibatkan mis persepsi (kesalahan pandangan) kepada agama lain, dengan cara mengkonfirmasi realitas tentang apa yang dia lihat secara langsung, dan apa yang orang lain lihat di media.


Upaya semacam ini dapat dikatakan sebagai upaya untuk menciptakan peradaban yang damai, dan berfungsi menimbulkan potensi menumbuhkan rasa saling percaya antar umat beragama, dan ini berguna untuk menyatukan seluruh element umat bergama.


Di tengah terpaan isu, bahwa P-DIP menganut paham yang berafiliasi dengan pemahaman PKI, justru itu akan menjadi anomali (suatu keanehan) ketika kita menilai itu melekat pada sosok Om Kumis, yang merupakan Ketua P-DIP Kota Bitung. Dalam hemat saya, Om Kumis merupakan sosok yang mewarisi corak pemikiran Nasionalis – Religius (Kristen), pemikiran yang sama dengan Dr. Sam Ratulangi.


Masa Depan Om Kumis: Naik atau Tenggelam?


Sebuah pertanyaan sederhana mengenai Om Kumis, adalah suatu pertanyaan yang lahir dari dalam hati saya, anak pinggiran Kota Bitung yang tinggal dikawasan kaki gunung dua sudara, kompleks Kawaduri, Wangurer Barat. Sebuah tempat yang saampai dengan saat ini masih merupakan satu dari antara beberapa tempat yang ada di Kita Bitung yang masih kurang pelayanan air bersih, dan juga merupakan tempat kediaman yang status kepemilikannya digantung (tidak jelas) sampai dengan saat ini.


Hari ini Om Kumis sedang mengikuti kompetisi Pilwako (Pemilihan Walikota) bersama dengan Paslon Pilwako lainnya, Om Kumis mendapatkan lawan yang jelas merupakan Saiber (Saingan Berat), diantaranya Max J. Lomban, Petahana Walikota yang merupakan birokrat ulung yang menaiki tangga birokrasi dari ruang eksekutif, dan Orin Lengkong yang pernah menjabat sebagai Camat, dan Kepala Dinas Pariwisata, yang populer karena kecantikannya yang melebih rata – rata pejabat daerah.


Saya lebih menginginkan dan meyakini Om Kumis untuk menjadi Walikota Bitung, dengan asumsi bahwa Bitung tidak memerlukan birokrat ulung, atau kecantikan semata untuk menggerakkan kemajuan di Kota Bitung. Bitung memerlukan sosok Walikota yang egaliter, yang berdiri sama rata dengan masyarakat, yang memiliki intensitas pertemuan dengan masyarakat (bukan intensitas yang dibangun sesaat pada saat Pilwako). Karena dalam pandangan saya, hanya dia yang dekat dengan masyarakat, dan cinta perdamaian yang cocok memimpin kota Bitung, karena orang yang demikian yang paling mengerti Kota Bitung.


Apa jadinya Om Kumis di periode yang akan datang? 


Suatu hal yang jelas Om Kumis tidak akan menjabat kembali menjadi Wakil Walikota. Apakah OM Kumis akan naik menjadi Wali Kota? Atau Om Kumis akan tenggelam menjadi Masyarakat Biasa? Sayangnya bukan saya sendiri yang memutuskan, karena suara mayoritas masyarakat yang akan menentukan.


Akhir kata, semoga masyarakat memilih Wali Kota yang memiliki watak pelayan yang senantiasa melihat langsung penderitaan masyarakat, dan melayani untuk solusi kebaikan bagi masyarakat, bukan Wali Kota yang berwatak Raja, yang duduk megah di kursi panas, yang hanya memperhatikan struktur pemerintahan, dan kebutuhan birokrasi, atau Wali Kota yang mempesona, anggun, putih, berkilau, namun tak jelas nilai estetikanya pada panggung politik yang menuntut kepedulian pada masyarakat.


Penulis: Novianto Topit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar