Ads

Minggu, 08 Januari 2023, Januari 08, 2023 WIB
Last Updated 2023-01-08T15:36:10Z
MANADO

PEMILU 2024 : Pro Kontra Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup, Begini Penjelasan Dosen Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi

Foto : DR. Ferry Daud Liando, Dosen Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Manado (ist)



JOURNALTELEGRAF - Sistem pemilihan umum yang akan digunakan pada Pemilu 2024 makin ramai diperbincangkan beberapa pekan terakhir.


Pernyataan Ketua KPU RI yang sempat viral diberbagai media sosial kemudian menuai banyak pro dan kontra.


Penolakan juga datang dari partai politik peserta Pemilu 2024. Namun, pendapat berbeda justru disampaikan oleh Akademisi Universitas Sam Ratulangi Manado, DR.Ferry Daud Liando.


Menurutnya, jika sistem proporsional daftar tertutup atau SPDTt yang berlaku, maka pemilih tidak akan mencoblos nama orang tetapi hanya akan mencoblos logo parpol. Secara teknis sistem ini memang lebih mudah baik dari pencetakaan surat suara, pendistribusuan, pencoblosan, penghitungan hingga rekapitulasi. 


"SPDTt akan efektif jika semua parpol peserta pemilu memiliki kelembagaan yang kuat. Ciri-cirinya adalah : Pertama parpol harus memiliki sistem kandidasi yang tersistematis, prosedur dan selektif. Parpol yang memiliki sistem rekruitmen, kaderisasi dan seleksi yang tertata rapi sangat efektif mendukung SPDTt," jelas akademisi yang juga merupaka. Ahli Tata Kelola Kepemiluan ini, Minggu (8/1/2023).


Selanjutnya Ferry menambahkan, selama ini belum banyak parpol yang melakukan sistem kaderisasi yang baik serta proses seleksi yang objektif. Calon parpol baru di tunjuk pada saat tahapan pencalonan DPR/DPRD di buka. 


"Harusnya jauh sebelum tahapan pencalonan, parpol sudah menyeleksi dan wajib melalui proses uji publik sebagaimana tuntutan UU no 2 tahun 2008 tentang parpol. Tanpa seleksi terbuka maka membuka peluang terjadinya jual beli KTA, mahar dan politik dinasti/kerabat elit parpol. Di jaman orde baru, Golkar menerapkan syarat calon harus memiliki persyaratan memiliki prestasi, loyalitas, dedikasi dan tidak tercelah (PLDT). Cara ini masih relevan untuk diadopsi," ujarnya.


Berikutnya yang kedua kata Ferry, SPDTt akan efektif jika kemampuan finansial parpol sudah mapan. Jika belum maka parpol akan memanfaatkan imbalan bagi calon sebagai kompensasi kursi. Ketiga SPDTt akan efektif jika tradisi oligarki dan politik kekerabatan dapat dikenadalikan. Jika parpol masih dikendalikan oleh pemilik modal, maka bisa jadi calon yang terpilih merupakan titipan. Demikian juga dengan terpilihnya calon karena memiliki kedekatan dengam elit parpol.


"Jadi KPU tidak perlu melakukan sortir nama calon secara ketat, tidak perlu khawatir surat suara tertukar dapil, surat suara tidak sulit dibuka, dicoblos, dan dilipat karena ukurannya tidak terlalu panjang dan lebar serta mekanisme rekapitulasi yang mudah karena penghitungannya bukan per caleg tapi cukup parpol saja. Pada pemilu 2019, banyak KPPS meninggal karena kelelahan dalam melakukan penghitungan suara. Dari aspek pembiayaan pengadaan surat suara tentu lebih efesien karena materi yang termuat lebih simpel," papar salah satu akademisi yang juga sering menjadi Tim Seleksi Penyenggara Pemilu di Sulawesi Utara ini.


Namun kata Ferry lagi, jika SPDTt yang akan dipilih maka akan sangat beresiko bagi parpol itu sendiri. Selama ini proses politik yang terjadi di internal sebagian parpol adalah kebiasaan mewajibkan imbalan bagi siapa saja yang hendak membutuhkan posisi. 


"Dalam hal suksesi ketua parpol di daerah, ada kewajiban uang setoran bagi masing-masing calon. Siapa yang menawar dengan nominal tertinggi maka jabatan akan diberikan kepadanya. Musyawarah daerah atau musda hanyalah formalitas belaka bahkan telah terpilih jauh sebelum musda. Tidak heran jika pasca musda banyak parpol konflik karena kader parpol merasa terkhianati karena yang terpilih bukanlah kader yang ikut berkeringat membesarkan parpol," jelasnya lagi.


Lebih jauh Ferry Liando mengatakan, jika kewajiban imbalan juga kerap dilakukan parpol pada saat suksesi kepala daerah. Parpol mewajibkan mahar (candidatie buying) bagi siapa saja yang hendak dicalonkan. Pada momentum pemilu, sebagian parpol juga kerap memperjualbelikan kartu tanda anggota (KTA) kepada siapa saja yang ingin menjadi caleg. UU Pemilu menyebutkan bahwa syarat caleg harus memiliki KTA. Meski bukan kader parpol tapi jika seseorang memiliki KTA maka memungkinkan baginya memenuhi syarat menjadi caleg. 


"Pada saat pembentukan kabinet, terendus kabar banyak pihak yang menyetorkan uang ke parpol agar menjadi utusan parpol pada jabatan menteri. Pemilu 2019 dan pemilu sebelumnya, meski telah menggunakan sistim proporsional daftar terbuka (SPDTb) namun terdapat parpol membatalkan penetapan calon yang memiliki suara terbanyak dengan menggantikannya dengan calon peraih suara lebih sedikit. Modusnya adalah membatalkan KTA. SPDTt berpotensi makin menjadikan parpol kian korup. Jika parpol memiliki kewenangan absolut menentukan siapa yang berhak menjadi anggota DPR/DPRD bisa jadi akan ditentukan oleh setoran tertinggi. Ada semacam sistem lelang. Pemenangnya ditentukan oleh tawaran tertinggi," terangnya.


Ferry juga memgatakan jika SPDTt sebetulnya sangat efektif membendung pemilih pragmatis dan calon yang kerap terbiasa menyuap pemilih pada setiap kali pemilu. 


"Dasar pemilih dalam memilih kerap ditentukan oleh imbalan dari calon, sehingga sebagian yang terpilih jauh dari standar yang diharapkan. SPDTt juga dapat mencegah persaingan tidak sehat antar calon dalam satu parpol yang sama serta SPDTt  dapat mencegah adanya politisasi SARA dan konflik sosial akibat politik adu domba tim sukses calon. Namun kedua sistem ini sama sama punya sisi lemah," pungkas Dosen di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi ini.



Reporter : Delila Anandari

Editor : Arham Licin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar