Ads

Rabu, 01 Juni 2022, Juni 01, 2022 WIB
Last Updated 2022-06-01T05:00:50Z
POLITIK

Mengintip Jalan Curam Partai Islam Menuju Pemilu 2024




Foto : tanda gambar parpol bernuansa Islam (ist)


JOURNALTELEGRAF - Dari pemilu ke pemilu kondisi politik Islam kian memprihatinkan. Indonesia sebagai Negeri yang notabene berpenduduk Muslim terbesar di dunia seperti tidak "laku" saat Islam dijual sebagai dagangan politik.


Sejak era reformasi, sudah puluhan partai politik bernuansa Islam yang hadir meramaikan percaturan panggung politik nasional. Sejak pemilu digulirkan pasca tumbangnnya orde baru pada tahun 1998 dan pemilu pertama dihelat pada 1999, lahir berbagai partai bernuansa Islam. Diantaranya, Partai Ummat Islam, Partai Masyumi Baru, Partai Kebangkitan Umat, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Masyumi 1905, Partai Bulan Bintang, Partai Nahdlatul Ummat, Partai Kebangkitan Bangsa dan masih banyak lagi partai politik yang lahir pada era itu. Era dimana keterbukaan pertama kali dirasakan pasca orde baru berkuasa selama 32 tahun dan kondisi perpolitikan Indonesia juga terpasung dengan fusi parpol menjadi 3 partai politik saja.


Namun, euforia ini masih berlanjut 5 tahun kemudian di pemilu 2004 meski jumlahnya tidak lagi sesignifikan pada pemilu 1999. Tersisa, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Nadhlatul Ummah Indonesia, Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Bulan Bintang (PBB).


Pasang surut partai politik yang membawa Islam sebagai "jualan" kembali hadir meramaikan panggung  pada pemilu 2009, selain PPP, PKB,PKS,PBB,PBR, dan PAN. Lahir parpol baru bernama Partai Matahari Bangsa (PMB) yang lahir dari terbelahnya Partai Amanat Nasional (PAN) kala itu dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang merupakan pecahan dari PKB.


Pada pemilu 2014, partai dengan bendera Islam tersisa PPP, PKB, PKS, PBB dan PAN dan kondisi ini terus bertahan hingga pemilu 2019.


Kondisi pemilu 2024 tentu akan menjadi tantangan semakin berkurangnnya elektabilitas partai partai berbasis massa Islam ini. Meski hadir partai baru, yaitu Partai Ummat yang juga lahir dari "sakit hati" petinggi PAN yang mungkin tidak lagi mendapat tempat atau tidak lagi punya kekuatan signifikan ditubuh partai yang lahir dari tangan kader kader Muhammadiyah tersebut. 


Pertanyaan besar setiap usai pemilu dengan perolehan suara partai berbasis Islam yang tidak memuaskan bahkan cenderung mengecewakan terus muncul kepermukaan. Ada apa dengan umat Islam?. Menurut Gonda Yumitro,MA,Ph.D, Doktor bidang politik di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam temuan risetnya mengatakan, Islam sebenarnya memiliki posisi yang sangat strategis karena mempunyai sejarah panjang dalam politik Indonesia, dan muslim merupakan penduduk mayoritas Indonesia. Hanya saja, Islam sering dijadikan sebagai alat politik. Ketika membutuhkan dukungan politik, para tokoh sering menggunakan identitas Islam sebagai alat untuk mencari dukungan. Namun uniknya, di era reformasi, meski budaya Islam berkembang, partai-partai Islam justru  tidak memenangkan pemilu.


 “Dari hasil penelitian, saya melihat bahwa partai Islam belum berhasil menawarkan solusi  alternatif dengan perspektif Islam dalam penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan, seperti isu korupsi, kemiskinan, dan pengangguran. Posisinya di orde baru mengalami penurunan luar biasa. Ketika era reformasi datang, dukungan pada politik Islam mulai bermunculan,”ungkap Gonda. 


Bentuk dukungan yang muncul seperti halnya mulai tumbuhnya institusi syariah, dan tumbuhnya kelompok-kelompok budaya Islam.


Di era reformasi, dukungan pada politik Islam lebih tinggi daripada tantangannya.  Gonda menyebutkan  ada beberapa aspek legal formal, aspek politik, dan sejumlah aspek lain yang mempengaruhi naik turunnya politik Islam di Indonesia. Berdasarkan hasil risetnya, pada masa orde baru, dukungan pada politik Islam lebih fokus pada bidang birokrasi dan ekonomi. 


“Pada era reformasi dukungan menguat pada unsur legal formal, dan legalisasi politik islam. Tantangan sebelum reformasi sangat tinggi, namun dukungan rendah. Sedangkan pada era reformasi, dukungan pada politik Islam secara umum mengalami kenaikan, sedang tantangan rendah. Dukungan paling tinggi terhadap politik Islam terjadi pada zaman Habibie, tapi dukungan pada politik Islam pelan-pelan mengalami penurunan  hingga sekarang,”ungkap dosen Prodi Hubungan Internasional tersebut.


Gonda menyebut faktor yang mempengaruhi penurunan diantaranya adalah konflik serta rendahnya pemahaman terhadap politik Islam.


 “Partai dianggap Islami jika ada salam atau membuka dengan basmallah, padahal secara substansialnya tidak ada. Disertasi saya menyimpulkan bahwa politik Islam di Indonesia bisa dikatakan mengalami kegagalan. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut,”ujar Gonda. 


Ia menyebut, ketiadaan blue print dan fenomena politik identitas menjadi sebab kegagalan tersebut. Kegagalan politik Islam di Indonesia menyebabkan politik Islam mengalami pergeseran. 


“Ada kecenderungan upaya Islamisasi Indonesia tetapi di luar jalur politik,  melalui berbagai penguatan kemasyarakatan pada bidang sosial, pendidikan, budaya, dan penguasaan media sosial,”tambahnya.




Editor : Arham dila Licin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar