Ads

Senin, 28 Maret 2022, Maret 28, 2022 WIB
Last Updated 2022-03-28T21:52:32Z
MANADO

Komnas HAM Sebut PT.TMS Merusak Lingkungan di Kepulauan Sangihe



JOURNALTELEGRAF- Komnas HAM sebut PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Sulawesi Utara berpotensi besar merusak lingkungan yang selama ini merupakan ruang hidup bagi masyarakat kepulauan Sangihe.


Menurut Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik,  sistem penambangan PT.TMS berpotensi menimbulkan perusakan dan pencemaran secara ekologis.


"PT. TMS berpotensi menimbulkan perusakan dan pencemaran secara ekologis yang memiliki dampak lanjutan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan dan perikanan," terang Ahmad Taufan dalam konfrensi Pers di Manado Senin (28/3/2022).


Ahmad Taufan juga mengaku, jika Komnas HAM RI telah menerima pengaduan langsung dari masyarakat Kepulauan Sangihe yang tergabung dalam komunitas Save Sangihe Island terkait dengan penolakan rencana penambangan emas di Kabupaten Kepulauan Sangihe.



"Penolakan rencana penambangan emas tersebut didasarkan pada kekhawatiran masyarakat Sangihe atas ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan di Pulau Sangihe yang merupakan salah satu gugus Kepulauan terdepan Indonesia," ujarnya.


Selain itu ia menjelaskan, Pulau Sangihe masuk dalam kategori pulau kecil dengan luas 73.680 HA/736,8 km persegi. Sesuai ketentuan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil salah satu kriteria pulau kecil memiliki luas lebih kecil dari 200.000 Ha/ 2000 km persegi.


"PT. TMS memiliki Luas wilayah konsesi tambang seluas 42.000 ha /420 km persegi, setara 56,98 persen dari total luas wilayah Pulau Sangihe 737 km persegi," bebernya.


Bahkan kata dia, sistem penambangan PT TMS  dilakukan penambangan terbuka (open PIT) menggunakan alat Beat (excavator dan dump truck) dan dilakukan peledakan.


Tak hanya itu, dirinya juga mengungkapkan bahwa PT TMS menggunakan esktraksi emas dengan menggunakan Sianida.



"Izin Usaha Pertambangan (IUP) OP PT TMS juga menimbulkan gejolak sosial berupa penolakan oleh masyarakat, terutama masyarakat adat dan kalangan agamawan," katanya.


"Dengan adanya tambang emas ancaman akan hilangnya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Termasuk juga ancaman terhadap ekosistem hutan lindung dan ekosistem pesisir beserta populasi flora dan fauna endemik Sangihe, serta ancaman ekologis lainnya seperti tercemarnya sumber mata air yang mengaliri 70-an sungai dengan hampir 200 anak sungai serta bencana alam," sambungnya.

Ia menilai, penambangan PT TMS juga berpotensi terhadap dampak sosial dalam jangka panjang seperti menurunnya kualitas dan kesejahteraan hidup, menurunnya akses layanan sosial dasar, potensi konflik sosial, bahkan ancaman terjadinya pengusiran paksa secara sistematis terhadap permukiman penduduk.

Pengadu menolak rencana penyusutan izin konsesi PT Sangihe dari 42 ribu ha, menjadi 25 ha, karena dianggap bukan solusi dan tetap akan berdampak terhadap keberlansungan hidup masyarakat Sangihe yang terdiri dari 80 kampung di 7 kecamatan yang masuk dalam Kawasan konsesi.

"Saat ini PT TMS sedang bekerja melakukan pembebasan lahan dan fase kontruksi selama 3 tahun (2023) sebelum dilakukan proses penambangan dengan izin konsesi selama 30 tahun," terangnya.


Tak hanya itu, ungkap dia, masyarakat Sangihe telah berulangkali melakukan aksi demonstrasi menolak wilayah Sangihe dijadikan konsesi tambang emas PT TMS, bahkan menggugat Menteri (ESDM) Arifin Tasrif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta berkaitan dengan kontrak karya (KK) PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe.


"Masyarakat Sangihe sedang mengajukan gugatan hukum terhadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara terkait proses perizinan PT TMS ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado," tutup Ahmad Taufan.



Reporter/ Editor: Ewin



Tidak ada komentar:

Posting Komentar