Ads

Kamis, 11 Februari 2021, Februari 11, 2021 WIB
Last Updated 2021-02-11T14:09:28Z
BUDAYA

Bertani Alami, Berawal dari Secangkir kopi dan Sebatang Rokok


Penulis : Muhaimin



JOURNALTELEGRAF-Belajar pertanian alami ala petani Salassae susah-susah gampang. Susah bagi orang yang tidak serius belajar, sangat gampang bagi orang-orang yang mau menikmati dan mendalaminya. Semua itu berawal secangkir kopi dan sebatang rokok.


Sebelum kita mendengar pengalaman sukses ala petani salassae tentang bagaimana cara meningkatkan produksi tanaman padi tanpa mengurangi pendapatan untuk kesejahteraan petani. 


Untuk itu, kita akan mengulas sedikit tentang kondisi pertanian selama 10 tahun terakhir di Indonesia terutama di Sulawesi Selatan.


Di Indonesia terdapat enam provinsi sebagai sentral produksi tanaman padi. Yang menempati urutan pertama produksi padi berada di provinsi Jawa Timur dengan jumlah produksi terakhir sebesar 13,000,475 ton, di susul dengan Jawa Barat (12,494,919 ton), Jawa Tengah (11,401,821 ton), Sulawesi Selatan (6,196,737 ton), Sumatra Utara (5,423,154 ton) dan terakhir Sumatra selatan sebesar  5,076,831 ton. (Kementan 2019). 




Jika dilihat dari data diatas, Sulawesi Selatan urutan ke empat dan berada di posisi pertama di Indonesia timur sebagai sentral produksi tanaman padi.  Produksi padi dari tahun 2011-2016 mengalami peningkatan, sehingga Sulawesi Selatan surplus 2,40 juta ton/tahun, kecuali di tahun 2014 mengalami penurunan. 



Kemudian selama lima tahun terakhir produksi padi Sulsel meningkatkan 2,33 persen. (Dinas Pertanian Sul-Sel dan Kementan). Data ini di perkuat dengan hasil analisis Susilowati, (2017) menyatakan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan menjadi produsen sekaligus pemasok beras utama bagi beberapa provinsi di Indonesia dengan ke adaan defisit beras yang meningkat setiap tahunnya.


Pertanyaan kemudian,  Apakah petani di Sulawesi Selatan sudah sejahtera dengan prestasi swasembada pangan dari pemerintah nasional? 


"Produksi padi boleh meningkat, bukan berarti petani sejahtera".


Ini semua teguran keras bagi bagi kita semua terkhususnya para akademisi, sarjanawan dan mahasiswa pertanian untuk menjawab pertanyaan diatas, tanpa terkecuali bagi eksekutif dan legislatif. 






Pertanyaan kedua bagaimana meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani ? Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah kepada petani sangat jauh dari harapan petani. Karena petani dianjurkan dan dipaksa menggunakan pupuk an organik atau bahasa kerennya pupuk kimia (pestisida sintetik) untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi. 


Tantangan kita kedepannya adalah bagaimana menyusun kembali pengetahuan dan pengalaman petani zaman dulu yang sudah lama tidak kita gunakan lagi, kalaupun ada tidak sampai satu persen yang menerapkannya. 


Coba kita bayangkan, bagaimana petani dulu bertani tanpa ada pemberian pupuk sama sekali, tanaman padi juga tetap tumbuh dengan baik, sekalipun proses pertumbuhannya sangat lama bisa mencapai 4-6 bulan persatu kali panen. 


Umur tanama padi yang lama sudah mampu kita jawab dengan baik, sekarang umur tanaman padi diperkirakan 3 sampai 3,5 bulan per sekali panen. Dengan umur panen yang pendek, petani bisa memproduksi gabah tiga kali setiap tahunnya. 



Tidak semua daerah sama, ada yang bisa 2 kali setahun bahkan ada juga yang hanya 1 kali setahun, hanya mengikuti curah hujan. Petani Panen 2-1 kali pertahun dikarenakan sumber mata air yang jauh dari lokasi garapan. 




Menurut pernyataan pemerintah dalam hal ini kementerian pertanian di berbagai media, baik itu media mainstream dan maupun data yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal, pengunaan pupuk pestisida bisa menambah pendapatan keluarga petani.


Sementara menurut penelitian Setiyawan dan Santoso, (2017) menyatakan bahwa budidaya pertanian organik dan non organik memberikan dampak yang berbeda-beda terhadap pendapatan keluarga petani. Karena pertanian organik mendapatkan hasil yang lebih besar dibanding pertanian konvensional. 


Pendapat petani organik selama satu musim panen sebesar Rp 28.196.305 /hektar, sementara pendapat petani non organik (konvensional) dalam satu musim panen sebesar Rp 19.371.846 /hektar. Artinya ada selisih pendapat antara petani organik dan non organik sebasar Rp 8.824.459 /hektar.


Apakah kita masih mau mengatakan pertanian konvensional meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani? 


Iya betul menambah, kata Abdul Wahid, menambah penderitaan bagi keluarga petani. Dengan nada tawa. Kenapa bisa? Karena rasa ketergantungan petani terhadap pupuk pestisida sangatlah tinggi, sehingga petani di paksa membeli pupuk untuk meningkatkan produksi. 


Padahal rasa ketergantungan yang ada. Seharusnya pemerintah memberikan ruang bagi petani untuk berpikir tanpa ada batasan, bukan ketergantungan yang wujudkan. 


Bicara tentang peningkatan produksi dan kesejahteraan petani, perlu ada ruang khusus untuk membahas langkah-langkah ini. 


Ayo kita  duduk melingkar sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok. Perpaduan antara kopi dan rokok akan melahirkan berbagai ide dan gagasan untuk menyelamatkan nasib bangsa kedepannya.


"Kenapa perlu ada strategi yang tepat untuk meningkatkan produksi? Karena strategi adalah jalan menuju pintu keselamatan. kenapa petani harus sejahtera? Agar nyawa ribuan masyarakat terselamatkan". 


Untuk menjawab persoalan diatas, salah satu solusi yang tepat adalah kita harus beralih ke pertanian alami.  Karena pertanian alami mampu menekan angka pengeluaran dalam melakukan budidaya tanaman padi maupun tanaman pangan lainnya. 


Disini saya hanya bahas dari satu komoditas saja. Itu baru satu keuntungan, belum termasuk keuntungan dari segi budaya, sosial dan lingkungan yang tak mungkin bisa di rupiahkan nilainya, kalaupun bisa dirupiahkan itu nilainya lebih tinggi dari produk yang kita hasilkan, karena dampaknya sangat panjang. (Ctt baca dampak revolusi hijau).


Jika kawan-kawan penasaran, ayo kita dengar pengalaman sukses petani Salassae, Bulukumba dengan bermodalkan pengetahuan alam atau biasa disebut bertani tanpa mengunakan bahan kimia sintetis. 


Pak Bate adalah seorang petani alami yang tinggal di Desa Salassae, Bulukumba Sulawesi Selatan. Kurang lebih lima tahun terakhir bercocok tanam tanpa mengunakan bahan kimia sintetis atau dengan kata lain bertani mengunakan potensi alam yang selama ini tidak pernah dimanfaatkan dengan baik.  



Sebelumnya Pak  Bate adalah petani konvensional, dia berkata "Selama bertani konvensional, pendapat dan pengeluaran saya tidak jauh berbeda. Luas lahan sawah saya 1 ha, untuk mengelola lahan seluas ini, biaya yang harus saya keluarkan selama satu musim panen diperkirakan sebesar Rp. 1.650.000. ini belum termasuk biaya pemeliharaan dan biaya tenaga kerja saya selama bertani. 


"Jenis biaya yang dikeluarkan Pak Bate waktu menjadi petani konvensional mulai dari proses pengelolaan dan produksi seperti biaya traktor Rp 500/sekali panen, biaya tenaga kerja selama satu kali panen mencapai Rp. 600.000/sekali panen, biaya pupuk Rp. 350.000/sekali panen, biaya benih diperkirakan 200.000/sekali tanam dan ini belum termaksud biaya pemeliharaan tanaman".


Pak Bate melanjutkan ceritanya, saya Pak Muhaimin, selama beralih ke pertanian alami, saya merasakan dampaknya. Banyak sekali perbedaan bertani alami dengan konvensional, mulai dari jumlah produksi, berat gabah, biaya tenaga kerja dan biaya input produksi. 


"Selama bertani alami dalam satu musim tanam katanya, biaya produksi, biaya tenaga kerja, biaya traktor tidak sampai Rp. 300.000, itupun saya kasih keluar untuk kebutuhan orang yang membantu dalam bercocok tanam dan panen. 


Pupuk alami saya buat sendiri, bibit saya hasilkan sendiri dan traktor punya Komunitas saya hanya membayar uang bensin saja dan biaya tenaga kerja, saya hanya membelikan rokok dan makanan, karena setiap musim menanam dan panen kita selalu budayakan arisan kerja".


Selain itu ada yang menarik dari pertanian alami katanya, kita di komunitas petani alami Salassae bukan hanya melakukan bercocok tanam mengunakan bahan alam, tapi kami juga belajar bagaimana cara bercocok tanam yang baik dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar. 


Selama bertani alami katanya, hanya 2-3 kali menggunakan pupuk alami buatan saya  sendiri, selebihnya saya menggunakan kekuatan alam. Dalam bercocok tanam ada 4 unsur alam yang harus kita perhatikan dan manfaatkan yakni unsur tanah, air, udara dan angin. Ke-empat unsur ini memiliki perang yang berbeda-beda untuk memperbaiki unsur hara tanah, pertumbuhan dan produksi tanaman. 


Semua ini sudah saya lakukan, Alhamdulillah berhasil, hasilnya sangat jauh berbeda. Ujarnya. 


Abdul Wahid menceritakan pengalamannya selama bertani alami. Memanfaatkan sumberdaya alam yang ada disekitar kita bisa memberikan keuntungan bagi seorang petani. Untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta penanganan hama penyakit padi sangatlah mudah. 


Lelaki kelahiran Salassae yang biasa saya sapa atau panggilan akrabku dengan sebutan kak Wahid. Kurang lebih 10 tahun bergelut dan mengkampanyekan pertanian alami baik di dalam Desa Salassae maupun di luar desa hingga di luar provinsi Sulawesi Selatan.


"Semua ini saya lakukan dengan ikhlas" ucapnya.


Menurutnya, saya tidak pernah merasa kesusahan dan kekurangan dalam bertani alami, karena seluruh input produksi saya buat sendiri, mulai dari benih, pupuk dan pestisida nabati, saya buat sendiri. 


Hampir semua anggota dan pengurus Komunitas Swabina Petani Salassae (KSPS) mengakui kecerdasan Pak Wahid dalam membuat berbagai nutrisi, pestisida nabati dan mikroba untuk kebutuhan bercocok tanam. 


Dengan keuletannya, dia mampu memformulasi sisa tanaman, kotoran hewan,  limbah ikan, rerumputan, tanaman dan pohon yang masih hidup untuk dijadikan pupuk alami.


Untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang terkandung dalam tanaman, pohon dan hewan katanya, dengan memperhatikan dan mempelajari setiap jenis tanaman, pohon dan hewan yang ada untuk pembuatan nutrisi, pertisida herbal dan mikroba. 




Proses indentifikasi nya sangat mudah, misalnya membuat nutrisi  Nitrogen, Phospor dan Kalium (N, P, K).  Cari saja tanaman dan pohon yang subur dan cepat tumbuh. Pelajari itu. 


Kalau dia terasa kriuk kedengarannya bertani banyak unsur Nitrogen didalamnya, seperti ikan dan siput. Kalau dia bergetah berarti unsur hara Pospor yang paling banyak, kalau berlendir berarti unsur hara Kalium yang paling banyak. Seperti itu.


Sama proses indentifikasi pestisida herbal, bisa kita cari tahu tanaman yang tidak di suka sama hama yang baunya amis dan pedis seperti tanaman cabe, bawang putih dan merica.  


Dalam mengembangkan pertanian alami, tidak boleh ada batasan berpikir untuk bereksperimen, silahkan gunakan kemampuan mu untuk memformulasikan semua yang ada, jangan takut salah. Jelasnya


Arisan kerja, merawat kearifan lokal


Selain itu katanya, komunitas petani alami di Desa Salassae setiap musim menanam dan panen saling membantu satu sama lain. Cara ini selain mengurangi biaya tenaga kerja juga mempererat hubungan sosial sesama petani. 


Semua anggota Komunitas Petani Alami Salassae katanya, salalu menghidupkan kembali kearifan lokal peninggalan petani jaman dulu, mulai cara bercocok tanam, merawat tanaman dan pascapanen. Aktivitas seperti ini jarang kita lihat di petani konvensional. 




Pondok Nurul, Senin, 8 Februari 2021.


#PetanialamiSalassae

#KSPSBulukumba

#PetaniMilenial

 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar