Ads

Rabu, 28 Oktober 2020, Oktober 28, 2020 WIB
Last Updated 2020-10-28T15:43:34Z
Artikel/Opini

Simbol Daerah Nyiur Melambai Adalah Perdamaian Generasi Bangsa di Sulawesi Utara


Foto : DR. Arianto Kadir



JOURNALTELEGRAF - Berkaca pada teori orientasi dominasi sosial, ada tiga asumsi dasar sebagai kerangka hirarki sosial. Asumsi pertama adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung disusun berdasarkan kelompok-kelompok hierarki, dimana paling tidak terdapat satu kelompok atau individu yang berada di atas dan satu kelompok atau individu lain yang berada di bawahnya. Asumsi kedua, hierarki atau tingkatan dapat didasarkan pada usia, jenis kelamin, kelas sosial, ras, kebangsaan, agama, dan karakteristik lainnya yang mungkin dapat digunakan sebagai pembeda di antara kelompok atau individu yang berbeda. Asumsi terakhir, masyarakat secara individu harus menyeimbangkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, yaitu diantara satu hierarki kelompok atau individu menuju kelompok hierarki atau individu lain yang memiliki keseimbangan.


Teori orientasi dominasi sosial yang dirumuskan oleh Sidanius dan Pratto pada tahun 1991 ini, dirancang untuk menjelaskan sebab akibat dari hierarki sosial serta penindasan. Secara khusus teori dominasi sosial mencoba untuk menjelaskan mengapa masyarakat tampaknya didukung oleh suatu hierarki. Teori dominasi sosial menyebutkan bahwa faktor penting yang mempengaruhi ini adalah perbedaan individu yang dikatakan sebagai Orientasi Dominansi Sosial (ODS) atau sejauh mana individu berkeinginan untuk mendominasi dan menjadi unggul.


Ingatlah saudaraku bahwa Faktor orientasi dominasi sosial inilah yang melahirkan ketidaksetaraan sosial, sehingga terkadang masyarakat menjadi terpolarisasi, dan hidup dalam bayang-bayang kuasa dan menguasai. Ketika dalam momentum Pilkada faktor ketidaksetaraan sosial ini dijadikan alasan untuk memilih dan tidak memilih sosok dan kandidat tertentu, dan selalu diblow-up media di framing, maka dikhawatirkan akan terjadi gesekan sosial yang berpotensi menghidupkan konflik politik bahkan kerusuhan sosial. Karena fakta akhir-akhir ini demokrasi dibangsa ini berjalan dengan blow-up media massa.


Ketidaksetaraan strata sosial, adalah suasana dimana sebuah sistim sosial atau pranata sosial berupa komunitas ras, etnis, agama dan paguyubanisasi mengalami distorsi, peminggiran, dan bahkan kematian perdata. sementara disisi lain terdapat dominasi satu komunitas tertentu, yang berlindung dengan nyaman didalam  tangan-tangan perkasa serbuah penguasa, dengan leluasa berperilaku palsu, menyebar ujaran kebencian, memfitnah tokoh-tokoh bangsa, tokoh-tokoh agama, menghina simbol-simbol sakral sebuah entitas dan menghalalkan cara untuk tropi kekuasaan rezim.


Marilah kita dengan semangat BOHUSAMI,  sesama masyarakat Sulawesi Utara memasuki tahapan-tahapan genting Pilkada 2020 ini, menyatupadankan wawasan toleransi kebangsaan kita, kita ikat kesadaran kita bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang pluralis dan multikultural. Seharusnya keragaman yang telah dirawat oleh para leluhur kita ini dengan nilai dan etika sosial yang baik, akan menjadi daya ungkit pembangunan peradaban masyarakat kita dibumi nyiur melambai ini, namun faktanya lain, karena keberadaan  kelompok-kelompok dominan didaerah ini yang memiliki kekuatan yang berimbang, maka setiap saat selalu terjadi show force, menghunus pedang dan samurai, dengan lantang menyatakan kepada publik sebuah tantangan. Kondisi sosial seperti ini dalam perspektif antropologi sosial berpotensi melahirkan konflik sosial-horisontal, dimana potensi konflik tersebut selalu membayangi setiap dinamika sosial yang terjadi, apalagi dalam menghadapi momentum politik seperti Pilkada 2020 ini.


Bila berkaca pada fakta konflik sosial yang sering terjadi, bahwa salahsatu kerawanan sosial yang selalu terjadi disuatu masyarakat, adalah kebiasaan merespon peristiwa yang begitu cepat, akibat kecanggihan tekhnologi cyberspace. Padahal fakta sosialnya karakter masyarakat, karakter konflik dan pemicu konfliknya sangat jauh berbeda serta berada ditempat yang sangat jauh, namun yang terjadi karena semangat solidaritas, soliditas dan identitas kelompok yang begitu kuat tanpa disadari telah menyulut dan mengelindingkan emosi massa. Apalagi saat ini dengan maraknya penyebaran berita hoax di media massa, maka terkadang tanpa diteliti kebenaran beritanya langsung saja dishare ke publik. Sehingga isu hoax menjadi viral dan berkembang menjadi fitnah jamaah. 

Pada kondisi seperti ini dibutuhkan ketegasan pihak keamanan dalam merspon setiap gejala sosial yang menyimpang, agar tidak menjadi tsunami sosial. Dibutuhkan sinergitas antara penyelenggara Pilkada, aparat keamanan dan masyarakat, agar selalu melakukan antisipasi dini dan respon dini untuk menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam berdemoktrasi.


Oleh: DR. Arianto Kadir


Tidak ada komentar:

Posting Komentar