Ads

Kamis, 27 Agustus 2020, Agustus 27, 2020 WIB
Last Updated 2020-08-27T13:17:13Z
Otonomi Khusus PapuaPapuaPapua Barat

Mengapa Harus dilakukan Rekayasa kurikulum di Papua?




JOURNALTELEGRAF-Untuk mempercepat mutu pendidikan di Papua agar dapat sejajar dengan kualitas pendidikan di Pulau Jawa atau bahkan dunia internasional, maka sudah saatnya dipikirkan tentang rekayasa kurikulum khas Papua.


Menurut Dr. Arianto Kadir, M.Si wilayah Papua dan Papua Barat merupakan daerah dengan entitas adat dan budaya yang sangat beragam, yang tersebar dalam tujuh wilayah adat.


Arianto menilai wilayah Papua memiliki topografi yang unik dan berbeda-beda, yang terdiri dari empat zonasi masyaraktnya, masyarakat pesisir, masyarakat rawa atau kaki gunung, masyarakat lembah dan masyarakat pegunungan.


Ketiga,  kata Arianto zonasi pendidikan persekolahan juga berbeda-beda, ada zonasi pendidikan perkotaan, pendidikan didaerah pinggiran, pendidikan didaerah, pedalaman, dan zonasi pendidikan di daerah terisolir atau tidak memiliki sekolah yang dibangun oleh negara.

"Keempat Papua adalah daerah dengan program Otonomi khusus," tegasnya Arianto yang juga sebagai Kepala Satuan Pendidikan di Papua. Kamis (27/8/2020).


Sesuai hasil kajian akademik yang dilakukan Arianto selama menjadi tenaga pendidik di Papua dirinya mengungkapkan, untuk melakukan rekayasa kurikulum Papua harus memiliki pijakan hukum yang jelas yang dapat mengakomodir kepentingan dimaksud.


"Disisi lain perlu juga dijadikan dasar prinsip-prinsip filosofis dalam penyusunan kurikulum nasional, agar kurikulum yang dilahirnya tidak bertentangan dengan kebijakan kurikulum nasional," tutur Arianto.


Tak Hanya itu, Arianto mengatakan setidaknya ada duabelas prinsip dalam pengembangan kurikulum nasional yang harus dipahami.


"Pertama, kurikulum satuan pendidikan atau jenjang pendidikan, bukan merupakan daftar mata pelajaran," paparnya.


Atas dasar prinsip tersebut, kurikulum sebagai rencana yang mana rancangan kurikulum untuk konten pendidikan yang harus dimiliki oleh seluruh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya di satu satuan atau jenjang pendidikan tertentu.


"Kurikulum sebagai proses, totalitas pengalaman belajar peserta didik di satu satuan atau jenjang pendidikan untuk menguasai konten pendidikan yang dirancang dalam rencana," jelasnya.


"Sementara, hasil belajar adalah perilaku peserta didik secara keseluruhan dalam menerapkan perolehannya di masyarakat," tambahnya.


Yang kedua kata Arianto, standar kompetensi lulusan ditetapkan untuk satu satuan pendidikan, jenjang pendidikan, dan program pendidikan, yang mana disesuaikan dengan kebijakan pemerintah mengenai wajib belajar 12 tahun.

"Standar kompetensi lulusan yang menjadi dasar pengembangan kurikulum adalah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik setelah mengikuti proses pendidikan selama 12 tahun," ucap Arianto.

Ketiga kata dia, sesuai dengan fungsi dan tujuan jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta fungsi dan tujuan dari masing-masing satuan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan.


"Pengembangan kurikulum didasarkan atas standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta standar kompetensi satuan pendidikan," ujar dia.


Keempat, model kurikulum berbasis kompetensi ditandai oleh pengembangan kompetensi berupa sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran.

"Kompetensi tersebut termasuk kompotensi pengetahuan yang dikemas secara khusus dalam satu mata pelajaran, termasuk sikap dan keterampilan yang dikemas dalam setiap mata pelajaran dan bersifat lintas mata pelajaran," jelasnya.



Lanjut dia, Kompotensi ini dapat diorganisasikan dengan memperhatikan prinsip penguatan atau organisasi horizontal dan keberlanjutan atau organisasi vertikal sehingga memenuhi prinsip akumulasi dalam pembelajaran.


"Kelima, kurikulum didasarkan pada prinsip. Bahwa setiap sikap, keterampilan dan pengetahuan yang dirumuskan dalam kurikulum berbentuk kemampuan dasar dapat dipelajari dan dikuasai setiap peserta didik atau mastery learning sesuai dengan kaidah kurikulum berbasis kompetensi," urai Arianto.


Keenam, kurikulum dikembangkan dengan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat. Atas dasar prinsip perbedaan kemampuan individual peserta didik.


"Kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memiliki tingkat penguasaan di atas standar yang telah ditentukan dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan.


Oleh karena itu, menurut dia, beragam program dan pengalaman belajar disediakan sesuai minat dan kemampuan awal peserta didik.


Ketujuh, kurikulum berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik berada pada posisi sentral dan aktif dalam belajar.



Kedelapan, kurikulum harus tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. 



Oleh karena itu, konten kurikulum harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni; membangun rasa ingin tahu dan kemampuan bagi peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat hasil-hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.


Kesembilan, kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pendidikan tidak boleh memisahkan peserta didik dari lingkungannya dan pengembangan kurikulum didasarkan kepada prinsip relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan lingkungan hidup.


Artinya, kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari permasalahan di lingkungan masyarakatnya sebagai konten kurikulum dan kesempatan untuk mengaplikasikan yang dipelajari di kelas dalam kehidupan di masyarakat.

Kesepuluh, kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pemberdayaan peserta didik untuk belajar sepanjang hayat dirumuskan dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan budaya belajar.

Kesebelas, kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dikembangkan melalui penentuan struktur kurikulum, Standar Kemampuan/SK dan Kemampuan Dasar/KD, serta silabus. 


"Kepentingan daerah dikembangkan untuk membangun manusia yang tidak tercabut dari akar budayanya dan mampu berkontribusi langsung kepada masyarakat di sekitar," katanya.


"Kedua kepentingan ini saling mengisi dan memberdayakan keragaman dan kebersatuan yang dinyatakan dalam Bhinneka Tunggal Ika untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia," terangnya.

Keduabelas, penilaian hasil belajar ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki pencapaian kompetensi. Instrumen penilaian hasil belajar adalah alat untuk mengetahui kekurangan yang dimiliki setiap peserta didik atau sekelompok peserta didik. 


Menurutnya, kekurangan tersebut harus segera diikuti dengan proses perbaikan terhadap kekurangan dalam aspek hasil belajar yang dimiliki seorang atau sekelompok peserta didik.


"Dari keduabelas prinsip tersebut, disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan di Papua yang berbasis antropologis dan sosiologis. Sehingga lulusannya diharapkan memiliki kompetensi yang sangat dibutuhkan daerah-daerah di Papua yang kaya sumberdaya alam dan sumberdaya nilai," tutup Arianto.(*)






Editor : Ewin 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar