Ads

Kamis, 06 Februari 2020, Februari 06, 2020 WIB
Last Updated 2020-02-06T08:12:36Z
Opini

CATATAN KECIL ; Bolaang Mongondow Selatan dari Sejarah dan Keberagamannya

JOURNALTELEGRAF- 1. SEJARAH BOLAANG MONGONDOW SELATAN

Dalam sejarah Bolaang Mongondow, Bolango bukan sebagai raja pada buku (napak tilas bolango) oleh Dedie Arie van gobel. Etnisitas bolango merupakan suku asli dari pulau batang dua Ternate, provinsi maluku utara pada abad 15, yang seingat penulis pulau itu sangat mistis karena batang dua adalah pulau yang ketika perantau dari sulut pergi ke ternate maka tak ada jalan lain, selain melintasi pada pulau tersebut. Terlepas dari kemistisan pulau itu tak harus juga di baperin, sebab ada hal yang penulis rasa perlu di pahami dan itu adalah sejarah/histori.

Bolango adalah etnis yang selalu ber-nomaden atau kata lain sebagai perantau tak ada tempat yang selalu ditetapkan, selalu berpindah-pindah. Kemudian suku ini pertama sekali merantau ke selat lembeh atau kita kenal sekarang pulau lembeh di bitung. Bolango berasal dari kata "bolango" atau menyeberangi, dan lembe adalah "Lombe" yang artinya menjorok keluar. Lihat amir bin yassin 1990, "sejarah desa molibagu dan labuang uki" Deskripsi dari etnis ini masih tarik-menarik (Everest S. Lee : teorinya fisika), bahkan titik jelasnya belum ada kepastian secara empiris.

Dalam pembahasan P. Sombowadile, "lintas Metamorfosis Bolsel, sinkronisasi masyarakat bolaang mongondow selatan, 2015 asal dan histori bolango". Dalam diskursusnya jason lobel, bahasa bolango yang ada di bolsel adalah persamaan bahasa besar dari filiphina, sedikit terkejut juga penulis melihat hal itu, kenapa dalam buku jason lobel : "etnic asean culture" ada diskursus bahasa bolango yg persis dengan etnis bolango. Tapi itu tak harus di kritisi sebab, analisis penulis bahwa pengkaitan tatanan bahasa sehingga itu adalah hal yang lahirriyah. Berangkat dari sejarah bolango sampai di akui sebagai etnis di bolaang mongondow di eranya datu' sugeha pada 1889 (arsip; sejarah bolmong).

Beberapa penjelasan di atas, merupakan penyadaran akan eksisntensialisme etnis, walaupun secara sejarah bolmong tidak dijelaskan, tapi di bukunya Dedie Arie Van gobel : Tapak kilas Bolango di bolsel adalah komparatif. Kemudian kontekstualnya dengan peralihan zaman dan era modernisasi ada sedikit eksploitatif terhadap sejarah bolango. Sehingga ini yang penulis katakan "penyadaran" dan urgeniknya akan pada eksistensi bolsel dan tantangan sosial yang selalu dipertentangkan pada era konfliksitas budaya. Beberapa tahun belakangan ini, bolsel sudah menjadi tolak ukur dan reinkarnasi dari neo-bolango, dimana bolango adalah etnis yang berkembang dari nomadenisasi mereka di masa lalu. Kemudian penulis sempat bertemu dengan sejarawan muda asal bolsel tepatnya di desa popodu, kecamatan bolaang uki, namanya melkianto van gobel S.Sos. bahwa bolango adalah wajah dari bolsel, dengan hal demikian maka bolsel dan pada umumnya bolaang mongondow raya adalah komponen yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa. Dan bolsel adalah tempat indah dan romantismenya untuk mengetahui sejarah ada di bolaang mongondow selatan.

Awal dan akhir dari sejarah bolmong tak lepas dari laut selatan bolmong (bolsel) dari gumansalangit, mokodoludud, sampai asimilasi ke dinasti van gobel adalah pembaharuan dan penanaman pengetahuan untuk tidak lupa pada sejarah. Tulisan ini masih sedikit bertentangan pada bukunya Donal Tungkagi : sejarah bolmong, namun ada komparasi yang menurut penulis perlu dipahami yaitu sejarah adalah pengetahuan akan identitas, klasifikasi sejarah boleh ada, tapi, tuntutan nalar dalam menetukan empirisnya pengetahuan adalah mengetahui.

2. KEBERAGAMAN

Foto: Fiki Gumeleng



Di lain pihak, hal yang dapat dilihat dari masyarakat disana adalah etika keberagamannya, kenapa demikian ? Pada saat penulis ke salah satu desa yang ada di bolsel tepatnya di tonsile dan pinolosian timur ada hal yang kita akan lihat lain dari pada yang lain, yaitu etika toleransi serta kerukunan yang terjadi begitu elok dan indah. Yah bagi penulis itu adalah keniscayaan dan karunia dari tuhan terhadap bolsel (bolaang mongondow selatan). Mengutip sedikit apa yang pernah disampaikan oleh prof. Haedar Nashir M.si (Ketum PP Muhammadiyah) dalam sambutannya di UMY (universitas Muhammadiyah yogyakarta) bahwasanya "hidup dalam kerukunan itu indah dan damai, serta menumbuhkan epistemologi (nilai kebenaran) terletak pada praktik yang kita lakukan bersama" (lihat majalah IBtimes.id desember 2019). Yah penulis meyakini bahwasanya itu adalah paradigmatik dalam meneguhkan (praktik terhadap perintah pancasila (sila ke-1), masyarakat bolsel lebih kepada asas-asas demokrasi dan itu pada dasarnya adalah absolut bagi setiap warga negara yaitu " menghargai satu dengan yang lain". Keberagaman muncul akibat keterbukaan pikiran dan sikap pada realitas kehidupan manusia di bawah kolong langit, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa kenapa harus ada keberagaman, karena itu "keberagaman" sudah terealisasi dengan semestinya dan itu tidak bisa di Apologi, sebab itu bukan di apologikan (atau dengan bahasa sederhana disalahkan) karena realitas memberi jawabannya.

Hemat dari penulis bahwa ada beberapa poin yang bisa di adopsi dan di formulasikan, apa terlebih soal keberagaman dan sikap multikultural yang sudah melekat pada bangsa indonesia khususnya di sulut. Di antaranya adalah sikap keterbukaan dan tidak ada gap (batasan) untuk melakukan itu karena bukan itu yang diajarkan oleh agama, karena agama memberi kebaikan pada manusia sebagai penge-lola ajaran-ajaran agama. dan kemudian sikap toleransi harus di rawat, masyarakat di bolsel dan pemerintah tidak bersikap fundamental sebab, tidak diajarkan hal demikian. Semoga bolsel menjadi tempat damai, aman, dan tentram.

Penulis : Fiki Gumeleng, Mahasiswa Akhir Studi di IAIN Manado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar